Dialog Hati, Dialog dengan Fikiran Sendiri, Muncul dari Berbagai Kondisi, tidak Selamanya Ia Nyata, tidak juga hanya Fiktif Belaka

4/8/09

Biarkan saja...

Kenapa takut?? Kenapa takut untuk jujur apa adanya.. kenapa takut untuk menampakkan siapa kita sebenarnya? Segitu tidak bersahabatnya kah aku akan akan kebenaran dimatamu? Begitu tampak tidak realistis kah aku dibenakmu? Kenapa kau salah menilaiku.. kenapa??

Sekarang, semuanya terlanjur terlakukan kan?? Kau terlanjur membuatku luka untuk sikap yang kau anggap benar itu? Aku tidak menyalahkanmu atas semua itu, sama sekali tidak. Hanya segudang penyesalan yang menghantui tidur malamku saat ini, mungkin aku bukanlah sosok yang ramah dengan setiap kalimat yang kau ucapkan, mungkin aku bukan orang yang pantas untuk tempatmu bicara apa adanya. Kamu tahu?? Begitu banyak tanda tanya bermunculan di benakku saat ini, apa salahku, apa yang telah membuatmu enggan berterus terang tentang pilihan jalan yang membahagiakan buatmu.

Malam ini, kucoba pandangi awan yang berarak di langit sana, tampak gumpalan-gumpalannya yang mencoba menghalangi bulan untuk memberikan sinarnya pada bumi. Kucoba renungkan kembali setiap ucap kata yang sering kita lakukan kala malam menjelang. Ku coba mereka-reka kembali sikap dan laku apa yang membuatmu menilai aku segitu tidak terimanya akan apa yang engkau jalani..

Belumpun kutemukan jawabannya tiba-tiba awan-awan itu mulai memenuhi langit dan menutupi sinar rembulan yang membuat malam terasa makin kelam. Digulita malam itu, kudongakkan kepala di sudut tangga tempat ku biasa berdiri, jika ku ingin bercakap-cakap denganmu. Jauh dibelahan bumi yang lain, ku dengar gelak tawa dan ucap canda yang kerap membuatku tergelak juga dan mencoba menimpali setiap candamu itu.

Tidak jarang juga kudengar nada suaramu yang melemah dan tampak sedang berduka, galau, dan kecewa terhadap sesuatu, dan disaat itulah terkadang aku berbisik pada angin malam dan memohon padanya tuk menyampaikan bisikanku padamu bahwa, kapan saja engkau membutuhkan aku, maka aku akan berada disana secepat mentari terbit esok pagi. Begitulah la, Aku tampil apa adanya untukmu, itu bukan hanya untukmu la, tapi juga buat mereka yang sama berartinya untukku, seperti kamu juga yang begitu berarti untukku. Lalu kenapa la?? Kenapa engkau selalu beranggapan aku berlebihan.. pertanyaan itu kerap menjadi perdebatan antara kita la..

Kini terjawablah sudah, makna dari ungkapan-ungkapanmu itu, seiring dengan awan hitam yang berarak menghalangi bulan, kutemukan jawaban dari bingungku, dari raguku, dari ketidakmengertianku, bahwa ternyata ungkapanmu itu bermakna lain yang begitu sulit kufahami dan kuterima dengan akal sehatku. Kenapa la?? Kenapa? Apa yang salah denganku la.. kenapa engkau melakukan itu? Kenapa engkau membuatku tersandung di jalan lurus kita? Kenapa engkau menyodorkan kepahitan ketika aku dihadapkan pada beban hidup yang begitu sulit kuhadapi sendiri di pulau kecil ini?

Ketika tubuh lemahku rentan terhadap angin senja, kau malah menciptakan badai dan meluluhlantakkan segala asaku la.. ketika aku mencoba mengumpulkan dan merekat kepingan-kepingan hati yang dulu telah dihancurkan la, kucoba menyiraminya dengan tekun la, dengan tetes embun pagi hari dan dengan cucuran air mata yang tidak lagi segan mengalir kapan saja la.. kala tunas itu mulai tumbuh la, engkau malah menghadirkan cairan panas yang membuatnya layu tak berdaya.

Tapi ya sudahlah la, semuanya sudahpun berlaku dihadapan kita, kalaupun kita harus berteriak pada langit biar mereka semua tau tentang derita yang kau sodorkan dihadapanku, tetap saja itu tidak akan merubah apapun, luka tetaplah luka, kini ku hanya perlu penawarnya dan kan kucoba sembuhkan sendiri la.. jikapun ia tidak lagi bisa sempurna, biarlah saja la.. aku ikhlas untuk semua cacat hati yang engkau ciptakan…

Biarlah la.. biarlah kutapaki sendiri dan kusembuhkan luka di pulau kecil ini. La aku tidak akan kembali, seperti apa yang pernah aku katakan padamu dipenghujung musim beberapa waktu lalu, karena aku belum siap menatap wajah lembut dan sorot mata sayumu yang dulu sering mengganggu tidur malamku. Aku belum siap berjalan disetiap gunung dan lembah indah yang kerap kita datangi kala bahagia menjadi warna hari-hari kita. Aku takut terisak la, aku takut terisak dihadapanmu dan tak mampu mengucap salam untukmu, aku belum siap menjabat erat tanganmu dan memberi seulas senyum buat meyakinkanmu kalau aku baik-baik saja.. biarlah la.. biarlah waktu yang menemaniku menyembuhkan gurat luka yang terlanjur ada itu.. biarlah la.. aku menyepi disini, merenugi setiap khilaf yang pernah kuperbuat terhadapmu… biarlah la.. biarkan saja awan malam ini membuat langit itu gelap, segelap ingatanku tentang kamu…

No comments: